Slide 1 Title Here

Your Description Here..................................

Slide 2 Title Here

Your Description Here..................................

Slide 3 Title Here

Your Description Here..................................

Slide 4 Title Here

Your Description Here..................................

Slide 5 Title Here

Your Description Here..................................

Sapi Pun Menghidupi Rakyat

20.22 |


Sapi memberi penghidupan kepada rakyat jelata. Berkunjunglah ke pasar hewan di Boyolali dan Gunung Kidul. Dan tengoklah, ribuan orang-dan ratusan sapi menggerakkan perekonomian rakyat di desa-desa.
Pagi yang sibuk di Pasar Hewan Sunggingan, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (17/8). Ribuan manusia mengerumuni seribuan sapi yang dijajakan di pasar yang buka setiap Pahing (hari dalam sistem penanggalan Jawa) itu. Sapi-sapi dijajakan menurut jenis dan usia. Sapi perah, pedet (anak sapi), dan sapi bakalan ada di sisi utara. Sapi jawa di sisi selatan dan sapi lemon siap potong di tengah pasar.
Menjelang tengah hari, keramaian pasar memuncak. Suasana begitu hiruk pikuk. Suara orang tawar menawar bersaing dengan lenguh sapi.
Di tengah keramaian itu, Prapto Sunarto (57) memeriksa sapi perah yang dituntun seorang lelaki. Dia memegang ambing sapi betina itu dan memerahnya. Setelah yakin sapi betina itu sehat dan sedang memproduksi susu, blantik itu pun menawar dalam bahasa Jawa. “Njuk piro? Pitungewu telungatus, piye?” (Minta berapa? Bagaimana kalau tujuh ribu tiga ratus, 7.300?).
“Tambah setengah,” balas si pemilik sapi.
Berapa sebenarnya harga sapi itu? Ternyata, pitungewu telungatus yang dimaksud Prapto adalah Rp 7,3 juta. Sedangkan setengah menurut si penjaja adalah Rp 500.000. Jadi, jauh sebelum pemerintah mewacanakan redenominasi, blantik dan pedagang sapi Sunggingan sudah duluan menghapus tiga angka nol pada pecahan uang besar.”Redenominasi” itu dilakukan karena menurut mereka tidak elok harga sapi sampai jutaan.
Hiruk pikuk juga terlihat di Pasar Hewan Munggi, Gunung Kidul, Yogyakarta, yang buka setiap Kliwon. Selasa (10/8) pagi, ratusan sapi diturunkan dari sejumlah truk. Satu-dua sapi sengaja dibiarkan berlarian di tengah pasar. Pengunjung yang takut terseruduk lari menghindar.
Tidak ada yang protes pada blantik pembawa sapi “liar” itu. Orang sudah mafhum, begitulah cara blantik menunjukkan sapi yang dia jajakan kondisinya sehat walafiat. Strateginya memang berhasil. Tidak lama setelah sapi itu beraksi, seorang pembeli datang menawar.
Setelah harga disepakati, pembeli memberikan uang receh Rp 500 sebagai tanda jadi. Begitulah. Di Pasar ini, pembeli cukup memberi panjar dengan koin pecahan mulai dari Rp 50, Rp 100, Rp 500, hingga Rp 1.000. Sisanya dibayar menjelang pasar tutup.
Kenapa uang receh?” Ah, kami kan saling kenal dan percaya. Meski panjar hanya Rp 100, kami tidak akan menjual sapi itu kepada orang lain,”kata Ahid, blantik sapi. Inilah cermin kejujuran rakyat yang tak terimbas jurus mark up, anak kandung budaya korupsi yang menjijikkan itu.

Pesta jual-beli

Selain Sunggingan dan Munggi, ada pasar sapi lainnya di Boyolali dan Yogyakarta yang buka secara bergantian setiap hari tertentu menurut sistem penanggalan Jawa. Pasar Ampel (Boyolali) buka setiap Kliwon; Siono (Gunung Kidul) setiap wage; Imogiri (Bantul) setiap Legi; Prambanan (perbatasan Sleman-Klaten) setiap Pon dan Legi.
Pada hari pasar itulah para blantik atawa pedagang sapi dan pembeli terlibat “pesta jual-beli” sapi. Di Sunggingan, sekitar 1.000 ekor sapi perah maupun potong dijajakan setiap hari pasar. Yang terjual bisa 300-400 ekor. Pedet dihargai rata-rata 2,5 juta. Sapi besar bisa belasan juta rupiah, tergantung berat dan kondisinya.
“Kalau seekor sapi rata-rata dihargai Rp 6 juta saja, maka uang yang beredar setiap hari pasar di Sunggingan mencapai Rp 2,4 miliar,” kata Kepala Pelaksana Teknis Dinas Pasar Hewan Sunggingan Bambang Supriyadi. Nilai transaksi itu biasanya melonjak 10 persen menjelang Lebaran seperti saat ini.
Selain dari penjualan sapi, pasar sapi juga menciptakan bisnis turunan yang nilainya tak kalah besar, mulai dari penjualan rumput, jamu sapi, jasa ngeluwi (mencocok hidung sapi), memeriksa sapi bunting, pemandian sapi, sewa kandang, hingga pijat sapi.
Para pelaku bisnis itu semua bermuara di pasar sapi. Mugi Harjono, pedagang sapi asal Ngelipar, Gunung Kidul, misalnya, setiap hari keliling ke pasar hewan di sekitar Yogyakarta untuk menjajakan sapinya. “Kliwon saya jualan di Munggi, Wage di Siono, Legi di Imogiri, Pon di Prambanan.Liburnya Cuma Pahing.”
Blantik sapi pun berkeliling setiap hari ke pasar sapi yang buka. Margono asal Karanggenan, Boyolali, biasanya keliling pasar sapi di Wonogiri,Pacitan, Tasikmalaya, Ngawi, dan Madiun untuk mencari sapi. Hasilnya dia jajakan lagi di pasar-pasar sapi di Boyolali dan sekitarnya.
“Pedagang, blantik,pembeli sebenarnya muter-muter di pasar-pasar yang sama. Sapinya juga begitu sampai dia jatuh ke pejagalan atau ke tangan peternak,” kata Margono.
Persentuhan di pasar sapi secara alamiah menciptakan jejaring ekonomi yang kuat. Ada jejaring pedagang-blantik-peternak; pedagang-blantik-pejagalan; dan peternak-pengepul susu-pabrik susu. Jejaring ini melebar hingga sampai ke konsumen. Kekuatan inilah yang membuat mereka tetap bertahan meski kenijakan impor sapi pemerintah menurunkan harga sapi potong hingga Rp 1 jutaan per ekor di pasar Sunggingan dan Munggi.
Begitulah, ketika kebijaksanaanekonomi belum berpihak kepada kaum jelata, rakyat menghidupkan perekonomian diantara lenguh-lenguh sapi, tanpa mengeluh pula.
Terima kasih sapi....
Kompas, Minggu 22 Agustus 2010
Oleh : BUDI SUWARNA DAN ANTONY LEE
Read More